Penulis: Kristiyanti Bayanan
Pegawai Negeri Sipil
Dibalik keberhasilan seseorang menggapai mimpinya, tentu ada perjuangan berat yang pernah dialaminya. Febriani, akrab disapa Yani, menjadi contoh sukses bagaimana bangkit dari keterpurukan akibat bullying.
Yani merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ketika usianya 7 tahun, ibunya meninggal dunia karena sakit liver. Sepeninggal ibunya, ia dan saudara-saudaranya yang masih butuh kasih sayang kedua orang tua dan harus diasuh oleh ayahnya sendiri di desa kecil di Toraja, Sulawesi Selatan. Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, ayahnya harus berfikir bagaimana melanjutkan hidup dengan anak-anak yang masih berusia sekolah. Kakak Yani yang sulung masih duduk di bangku kelas 5 SD, sementara Yani duduk di kelas 2 SD, dan si bungsu masih berusia 3 tahun.
Yani dan kakaknya tetap bersemangat belajar meskipun harus menempuh jarak ke sekolah kurang lebih 7 km dengan berjalan kaki bersama teman-temannya. Lelah tentu saja. Tapi hal ini tidak menyurutkan semangat Yani dan Kakaknya untuk menjadi yang terbaik. Kakak Yani menjadi anak yang pandai dan berprestasi di sekolahnya.
Kecerdasan dan semangat yang tinggi Kakak Yani, mengundang simpati dari pimpinan perusahaan swasta PT. Sulotco Jaya Abadi itu untuk menjadikan Kakak Yani anak angkat. Ayah Yani yang hanya seorang karyawan biasa dengan pendapatan yang tidak menentu pun menyetujui permintaan pimpinanan dan memberikan Kakak Yani sebagai anak angkatnya. Sejak saat itulah Kakak Yani tinggal bersama pimpinan itu.
Yani pun terinspirasi dengan kegigihan dan kecerdasan kakaknya. Yani giat belajar dan menjadi siswa berprestasi meski masih harus berjalan kaki ke sekolah hingga jenjang SMP. Ayahnya kemudian mempertimbangkan untuk memindahkan sekolah Yani ke sekolah lebih dekat karena sekolah yang sekarang memiliki jarak tempuh yang begitu jauh. Yani akhirnya pindah ke salah satu SMP Negeri favorit di Rantepao. Di sana, ia tinggal bersama bibinya.
Dua tahun Yani menempuh Pendidikan di SMP favorit, ia merasakan situasi belajar yang begitu berbeda. Sebelumnya ia pernah dinobatkan sebagai siswa berprestasi. Namun semenjak pindah, Yani merasa tertinggal dengan cara belajar yang sekarang. Kini, ia harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada seperti,media pembelajaran yang digunakan, perkembangan teknologi, serta lingkungan sekolah.
Meski terkesan berat bagi Yani menghadapi situasi ini apalagi ia mendapat perlakuan tidak nyaman dari teman-temannya di kelas, Yani berusaha menguatkan hati menghadapi situasi ini. Bullying bukan pertama kali dialaminya karena sejak duduk di bangku SD, ia sudah sering dibanding-bandingkan dengan kecerdasan Kakaknya. Meski kesal, Yani berusaha untuk fokus pada belajarnya sehingga ia berhasil masuk predikat 5 besar siswa berprestasi di sekolahnya.
Di masa SMA, Yani tak luput dari kepedihan hati. Ia sempat mengalami penolakan di salah satu sekolah favorit di Rantepao dan harus memilih sekolah swasta. Tak hanya itu, Yani diusir bibinya dari rumah sehingga ia harus tinggal bersama sepupunya. Tentu Struggle dalam diri Yani menghadapi situasi ini. Keinginan penuh menempuh Pendidikan tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar. Ia berusaha bangkit lagi dan tidak putus asa serta tidak ingin menyalahkan keadaan.
Yani tidak lantas patah semangat dalam mengejar cita-citanya. Ia melanjutkan Pendidikan ke jenjang perkuliahan meski ia sempat ditolak di salah satu perguruan tinggi favorit di Kota Makassar Sulawesi Selatan, Yani kemudian berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Toraja. Ia aktif berorganisasi dan berkegiatan di kampus.
Yani dari keluarga yang kurang mampu belajar untuk tidak sepenuhnya bergantung pada orang tua. Menjual gorengan dan kopi sachet pun sempat ia tempuh di usia 21 tahun untuk membantu kondisi ekonominya. Namun hal itu tidak bertahan lama karena ia harus fokus menyelesaikan pendidikannya. Yani menempuh Pendidikan di bangku kuliah selama 4 tahun dan keluar dengan predikat sangat memuaskan. Bangga, haru, itulah yang dirasakan Yani dan keluarga.
Semenjak Yani lulus kuliah, ia sempat bekerja sebagai tenaga kontrak di KPU Kabupaten Toraja Utara, dan di salah satu instansi pemerintah di Toraja Utara. Namun nasib itu berubah ketika Yani merantau ke Kalimantan. Perjuangannya untuk terus belajar pun membuahkan hasil. Diusia yang ke 25 tahun, ia berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) meski ia mengalami kegagalan pada tahun sebelumnya. Meski pernah dibully, Yani membuktikan bahwa dirinya bisa bangkit secara perlahan dan menjadi versi terbaik dari dirinya. Ia menganggap semua hinaan yang ia terima akan membuatnya lebih kuat dan berhasil.