Penulis: Badi’ Zulfa Nihayati, S.Psi, MAP, M.Sc
Juli dan Luna telah bersahabat hampir sepuluh tahun. Mereka seringkali menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas bersama. Tetapi setiap kali bertemu, Juli sering membuat Luna marah. Luna sama sekali tak pernah mendengar Juli. Juli merasa harus menyesuaikan percakapan sesuai yang Luna mau hanya untuk menghindari pertengkaran. Luna sering mengkritik, mengolok-olok dan membicarakan kejelekan Juli di belakang. Juli tahu itu namun tetap berusaha mempertahankan persahabatan. Di depan Juli, Luna selalu berusaha manis. Tetapi Juli tahu bahwa itu hanya manipulasi Luna, karena ketika Juli membutuhkan bantuan, Luna tak pernah ada untuknya. Tahun demi tahun berganti, Luna tak berubah. Juli akhirnya merasa sangat lelah. Ia merasa sering mengabaikan perasaannya sendiri demi menjaga persahabatan. Ia tahu, kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja.
Persahabatan diatas nampak seperti paradoks. Seringkali persahabatan menempatkan seseorang untuk berusaha menjaga ikatan. Ekspektasi orang terhadap persahabatan biasanya menjadi sebuah hubungan yang membahagiakan, membangun, saling menguatkan satu sama lain Sebagaimana pepatah yang selalu didengungkan orang, “ seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak”. Dalam kehidupan sosial, kita selalu ditekankan untuk mencari teman dimanapun berada. Nilai-nilai persahabatan dijunjung tinggi. Hal itu juga bagian dari tuntutan perilaku bermasyarakat di negeri ini. Disatu sisi, orang-orang terdekat yang kita sayangi malah seringkali jadi orang yang melukai. Ada istilah musuh dalam selimut. Kisah-kisah pengkhianatan biasanya dilakukan orang terdekat.
Bagaimana Toxic friendship merusak kesehatan mental Anda
Realitanya, banyak sekali orang-orang toxic dalam lingkup pertemanan. Anda sebenarnya bisa merasakannya. Jika orang yang Anda anggap “bestie” tetapi ternyata tidak membuat hidup Anda baik berarti Anda berada di dalam pertemanan yang toxic. Christy Piper, penulis buku Girl, You Deserve More mengatakan seorang teman yang toxic barangkali manis pada awalnya, namun seiring waktu Anda akan merasa tidak bahagia. Anda akan merasa menjaga pertemanan sendirian dan teman Anda merusak kepercayaan diri Anda. Jadi, alih-alih membuat Anda bahagia dan percaya diri, toxic friendship bsia berimbas negatif pada fisik dan kesejahteraan emosi Anda. Pertemanan yang tidak sehat membuat Anda terpuruk dan menghabiskan energi Anda.
Senada dengan hal tersebut, Andrea Bonior, PhD, pengarang buku The friendship Fix: The Complete Guide to Choosing, Losing, and Keeping Up With Your Friends, menegaskan toxic friendship membahayakan emosi Anda. Seorang teman yang toxic menyebabkan Anda stress, sedih, atau khawatir dan tidak membantu Anda seperti yang Anda inginkan. Teman yang toxic membuat Anda merasa terkuras dan meragukan diri Anda.
Pakar psikologi Veneet Tripathi menambahkan, sebuah hubungan pertemanan yang sehat harus dua sisi, saling memberi dan menerima. Jika salah satu merasa lebih banyak berkorban, berkompromi, dan merasa dimanfaatkan oleh yang lain berarti sebuah tanda bahwa pertemanan itu toxic. Anda akan merasa secara fisik dan emosional tidak aman karena teman Anda selalu mengkritik, berupaya merubah Anda dengan memberikan saran-saran yang memaksa atau membuat komentar-komentar yang membuat Anda merasa direndahkan. Anda merasa harus berdebat berkepanjangan dan menekan perasaan Anda sendiri untuk menghindari berargumentasi. Kondisi demikian akan merusak kesehatan mental Anda.
Lepaskan meski tak mudah
Mengapa seseorang sulit melepaskan pertemanan yang toxic meskipun sering menguras emosi? Holt-Lustad mengatakan bahwa terdapat faktor-faktor internal yang bisa menjadi alasan. Umumnya, seseorang merasa telah terbiasa dengan pola pertemanan toxic sehingga merasa memiliki pengalaman dan sejarah yang dilalui bersama. Kebersamaan membuat orang tersebut merasa punya ikatan yang kuat dengan teman toxic sehingga melepaskannya akan nampak sebagai suatu hal yang berat.
Alasan lain bisa berasal dari takut kesepian dalam kehidupan sosial. Seseorang yang punya ketakutan akan kesepian itu akan mempertahankan teman yang toxic meski berbahaya. Hal ini juga didukung oleh budaya merasa tak enak jika mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Beberapa orang memilih untuk tidak menjadi “konfrontatif” dalam pertemanan sehingga terhindar dari anggapan orang bahwa ia tidak bisa menjaga pertemanan dan mengecewakan orang-orang yang disayang.
Disatu sisi, perilaku manipulatif teman yang toxic juga seringkali membuat Anda merasa bersalah sehingga Anda akan berupaya membayar rasa bersalah Anda. Anda akan merasa kehilangan identitas diri karena seolah-olah ada bagian diri Anda yang hilang. Anda sendiri jadi memiliki harapan bahwa mereka akan berubah, memaafkan berkali-kali dan terjebak dalam perasaan yang tak karuan. Anda yang telah berkorban banyak dalam hubungan pertemanan tidak ingin perngorbanan Anda sia-sia.
Lantas apakah toxic friendship layak Anda pertahankan? Jawabannya adalah tidak. Anda harus jujur mengenai perasaan Anda. Jika hubungan pertemanan membuat perasaan Anda tidak nyaman maka lepaskan hubungan tersebut. Awalnya mungkin sulit. Anda tidak cukup punya keberanian untuk memulai. Akan tetapi Anda harus menyayangi diri Anda sendiri dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang merusak fisik, mental dan emosi Anda. Anda berhak dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung dan mendorong Anda menjadi lebih baik.
Beberapa langkah berikut bisa Anda ambil :
1. Tingkatkan self-esteem dan kepercayaan diri Anda
Orang-orang yang positif, murah hati dan tidak suka berkonfrontasi cenderung menarik orang-orang toxic dalam kehidupan mereka karena mereka susah menyuarakan pendapat mereka dan cenderung menoleransi perlakuan apapun ke mereka (Gutierrez dkk, 2016). Sehingga agar bisa menghadapi seseorang yang toxic, Anda perlu meningkatkan self-esteem dan kepercayaan diri sebagai langkah awal. Kurangnya percaya diri biasanya berasal dari ketakutan akan kegagalan atau melakukan hal yang salah. Margie Warrell menyarankan untuk melakukan visualiasi sebagai cara untuk meningkatkan kepercayaan diri karena hal tersebut mengaktifkan sirkuit syaraf sepreti melakukan sesuatu secara nyata. Jadi visualisasikan Anda berdiri tegak menghadapi orang yang toxic tersebut. Anda akan merasakan perbedaannya.
2. Buat batasan yang jelas waktu dan kontak Anda dengan teman yang toxic
Sommerfelts mengatakan, jika Anda memang benar-benar ingin memutus teman toxic dalam hidup Anda, Anda bisa menghindari segala bentuk kontak, memblokir akun sosial media atau nomor handphone, dan menghindari tempat-tempat dimana Anda mungkin bisa bertemu. Pilihan lain adalah batasi waktu dan kontak Anda dengan teman toxic tersebut. Berkata “tidak” itu bukan sebuah dosa. Tidak selalu ada buat teman toxic juga bukan merupakan sebuah kesalahan. Tegaskan sikap Anda dengan kata-kata yang jelas sehingga teman toxic tahu sikap yang Anda ambil. Teman Anda bisa merespon dengan kemarahan, dendam, atau kesedihan, namun yakinlah bahwa Anda tidak melakukan sesuatu yang salah. Jika teman Anda tidak bisa menghargai Anda, segera berlalu. Tegaskan batasan Anda dan hentikan percakapan yang bisa menguras emosi.
3. Lepaskan perasaan negatif
Ketika Anda telah berhasil melepaskan diri dari pertemanan yang toxic, namun masih memiliki perasaan negatif dari kejadian yang mengguncang Anda, Colin Tipping menyarankan sebuah latihan dari buku Radical Forgiveness. Buatlah tiga surat pada teman toxic Anda. Surat pertama Anda tulis untuk mengekspresikan dan melepaskan emosi Anda. Surat kedua bisa Anda tulis dnegan pendekatan yang lebih halus, dengan sedikit kata-kata negatif dan lebih banyak kata-kata cinta kasih. Surat ketiga Anda tuliskan peran apa yang telah Anda ambil dalam pertemanan anda sampai dengan Anda akhiri. Jangan mengirim surat-surat tersebut, tetapi gunakan sebagai saluran untuk melepaskan perasaan negatif Anda.