Ada kalanya kita kesulitan dalam menyampaikan pendapat kita tentang situasi terakhir. Ada kalanya kita lelah berbela sungkawa saking banyaknya berita duka. Pada satu hari kita juga perlu menyampaikan kepada orang tua kita yang sepuh, mengapa mereka perlu menjaga jarak dan segera mendapatkan vaksin dua dosis.
Edisi lalu kita membahas konsep dasar Efektivitas Komunikasi, kali ini kita akan sedikit menyinggung konsep Komunikasi Kesehatan. Efektivitas Komunikasi tetap berperan penting di dalam menyampaikan pesan, tetapi dalam kondisi pandemi seperti ini perlu memertimbangkan Komunikasi Kesehatan, mengingat tujuan dari pembicaraan adalah keselamatan bersama, yaitu keluar dari krisis pandemi. Dalam hal efektivitas komunikasi kita perlu memerhatikan SES (Status Ekonomi Sosial) seperti sebelumnya. Selain itu kita perlu menjadi bagian dari promosi kesehatan pemerintah, berupa kalimat-kalimat persuasif, meyakinkan kepercayaan kepada sistem kesehatan, menyampaikan akibat penolakan disertai dengan menunjukkan keterbukaan penemuan ilmiah.
Tips berikut berbeda dengan edisi sebelumnya, dibandingkan Dos and Donts, tips akan lebih dikaitkan dengan aktivitas realita pegawai seperti kita.
1. Bersimpati
Gagasan paling sederhana dari pembicaraan mengenai pandemi, atau kesehatan masyarakat pada umumnya, adalah simpati. Pada kelompok orang dengan ketidakpedulian atau ketidakmawas-diri sebenarnya sering kali dilandasi oleh ketidaktahuan. Penyampaian pendapat atau cerita dengan rasa simpati bisa membantu mendorong kesadaran lawan bicara untuk turut serta memiliki usaha yang sama dengan kita. Terkadang kelompok orang memilih untuk bebal dengan mengabaikan fakta dan memilih meyakini berita keliru, untuk kelompok ini bisa jadi pemaparan data dari lokasi terdekat bisa menjadi penekanan. Pada dasarnya rasa takut adalah option terakhir untuk mengajak orang ke arah sehat, tetapi beberapa orang memerlukan ini. Meskipun demikian paparan akibat menjadi penekanan dalam setiap pembicaraan kesehatan, terutama masa pandemi. Pembicaraan diawali dengan, “Kalau Ibu/ Bapak jadi mereka akan gimana?”. Toh beberapa kali kita temukan mereka yang memiliki gagasan keliru berlaku kontradiktif pada saat berada di situasi tidak menguntungkan. Kembali lagi, bahwa rasa simpati, atau pemakluman sudut pandang mereka, menjadi poin penting dalam pembicaraan-pembicaraan kesehatan masyarakat, terutama pandemi.
2. Isolasi Mandiri
Rasanya ada saja teman sejawat yang tengah melakukan isolasi mandiri. Ada kalanya kita mendapati sendirian di ruang kantor karena seluruh teman kita seruangan sedang menjalani isolasi mandiri atau sedang merawat keluarga mereka yang tengah pemulihan. Apa yang harus kita sampaikan? Apabila kita merasa bahwa “dia toh akan cerita”, “mungkin dia butuh waktu sendiri”, “kita tunggu saja sampai balik ke kantor”, sebenarnya tidak selalu benar. Pada umumnya kita menyukai perhatian meskipun sederhana, misalkan menanyakan perkembangan terkini kondisinya dan keluarga setiap hari. Penelitian menunjukkan sekitar 75% orang yang isolasi mandiri mengalami depresi berat. Sedikit banyak pasti ada ketakutan mereka kondisinya akan memburuk, dengan atau tanpa catatan komorbid. Bagi mereka merasa yakin kondisinya baik-baik saja dan tidak terancam merupakan hal terpenting. Oleh karena itu dukungan emosional rekan sejawat sangat dibutuhkan dalam masa isolasi mandiri. Selain itu kita juga perlu memastikan apakah rekan kita dalam kondisi memerlukan bantuan atau tidak. Ada kalanya seseorang lebih memilih terbuka kepada rekan kerja dibandingkan dengan keluarga untuk menghindari kepanikan dan penanganan sesegera mungkin. Jadi memang perhatian rekan kerja memiliki peran penting bagi mereka yang sedang menjalani masa isolasi.
3. Keraguan
Keraguan di sini terutama keraguan dalam mengikuti protokol dan anjuran pemerintah. Teman sejawat, tetangga, kerabat, pasti ada saja dari mereka menolak protokol dan anjuran pemerintah untuk melakukan vaksinasi. Lembaga kesehatan dunia menyarankan cara untuk meyakinkan mereka yang ragu adalah dengan bukti personal. Cara terbaik bagi penyampaian krisis pandemi berasal dari diri sendiri. Pada saat komentar efek paska vaksin menjadi video trending di berbagai sosial media, ini menunjukkan beberapa hal. Satu sisi ada rasa kebanggaan telah berhasil melakukan vaksinasi. Hal kedua, adanya upaya sekelompok masyarakat turut mensukseskan program pemerintah.
Berita simpang siur di sosial media menjadi faktor utama keraguan sekelompok orang untuk menjalani protokoler kesehatan apalagi program vaksinasi. Kecepatan informasi menjadi penghalang terbesar kesuksesan imunisasi di Negara berkembang. Dalam hal ini kita berbicara mengenai tingkat literasi (kabar terakhir literasi kita nomor dua, dari bawah). Sekali lagi, kita cukup membuktikan dari kita sendiri. Apabila kita menjaga protokoler kesehatan dengan tepat, maka kita akan bisa menjalani kegiatan sehari-hari, kita akan tetap sehat, dan kita tidak perlu mengkhawatirkan paparan virus karena telah melakukan vaksin, setidaknya tidak bergejala berat yang mengancam. Beberapa kondisi kelompok orang memang tidak memungkinkan vaksinasi di lingkungan umum, perlu melakukannya di rumah sakit. Bagi mereka informasi waktu vaksin dan prosesnya akan lebih menguntungkan dibandingkan berita fakta efek kontraindikasi vaksin.
Pendekatan personal ini juga berarti kita harus jujur dengan orang terdekat kita. Apabila terjadi gejala lebih dari ringan apalagi berat, maka orang terdekat di keluarga perlu segera mengetahui hal tersebut untuk ditindaklanjuti pihak terkait.
4. Menghimbau Orang Tua
Orang tua kita kebanyakan berusia senja dan menjadi kelompok rentan terhadap paparan virus. Penjelasan mengenai ancaman pengabaian protokoler bisa jadi justru menambah tekanan bagi mereka. Hal yang perlu dilakukan adalah mencukupi kebutuhan kesehatan, obat, suplemen, dan alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer dan sabun tangan. Ada baiknya kita perhatikan alat masker yang sesuai untuk usia senja untuk menghindari kesalahan penggunaan masker. Acap kali kita melihat orang tua menggunakan masker di dagu, itu karena bentuk masker terlalu sempit dan membuat sulit bernafas. Apabila demikian, masker bentuk duckbill mungkin bisa menjadi pilihan. Penggunaan hand sanitizer pun demikian, tidak banyak orang tua telaten menggunakan hand sanitizer sebelum dan setelah bertemu orang. Kita sampaikan saja cukup menggantinya dengan cuci tangan sebelum dan sesudah bertemu tamu. Nah, bagaimana soal tamu ini. Rasanya di titik saat ini orang tua kita mungkin kelompok usia paling banyak kehilangan teman akibat pandemi. Jadi anjuran membatasi bertemu teman, mengikuti saran pemerintah pada masa darurat, dan mengajarkan penggunaan komunikasi elektronik, akan sangat membantu. Apabila memungkinkan ada baiknya keluarga bergantian mengunjungi rumah orang tua, dengan melaksanakan protokoler kesehatan. Hal ini akan membantu orang tua memastikan kondisi mereka terjaga dan, terutama, tanpa perlu merasa kehilangan perhatian dari keluarga terdekat.
Kondisi emosional menjadi peran penting pada saat individu menjalani masa sulit. Saling menjaga perasaan merupakan pilihan terbaik, sambil menunjukkan kepedulian satu sama lain. Satu hal yang ingin kita pastikan segera terjadi adalah bebas dari pandemi.
Ucik Ana Fardila, S.Si., M.Ikom – Dosen Ilmu Komunikasi UIN Tulungagung, Direktur Organisasi Turi Children and Teens Research Community
Referensi
https://www.jhsph.edu/covid-19/articles/how-can-i-ask-my-friends-to-wear-masks-talking-to-friends-family-kids-and-oworkers-about-covid-19-safety.html
https://www.jhsph.edu/covid-19/articles/how-can-i-talk-to-my-friends-and-family-about-getting-vaccinated-for-covid19.html
Ontario Hospital Association (OHA). (Oktober, 2020). Effective Communication Strategies for COVID-19. OHA. Toronto, Ontario.
Jaana Juvonen, Hannah L. Schacter , dan Leah M. Lessard. (2021). Connecting Electronically with Friends to Cope with Isolation during COVID-19 Pandemic. Journal of Social and Personal Relationships. Vol. 38(6), Hal. 1782–1799.
Genavee Brown dan Patricia M. Greenfield. (2021). Staying Connected during Stay-at-Home: Communication with Family and Friends and Its Association with Well-Being. Hum Behavioural & Emergency Technology. Vol. 3, Hal. 147–156.