Situasi pandemi sedikit banyak memengaruhi anak. Sejak awal kondisi darurat kita harus menjelaskan mengapa harus membatasi bertemu teman, tidak datang ke sekolah, atau apa itu menjaga jarak. Di sisi lain acap kali kita perlu memberitahu anak mengenai kenapa dia masih belum bisa bertemu dengan temannya, atau ketika temannya lebih asik dengan gadget dibandingkan bermain dengannya.
Beberapa fakta yang perlu kita selami mengenai pandemi bagi anak-anak adalah semakin sempitnya space belajar dan bermain bagi mereka. Di Indonesia pelaksanaan KBM (Kelas Belajar Mengajar) versi online menjadi tantangan terberat karena kurangnya SDM dan fasilitas. Sekolah dengan fasilitas memadai bisa jadi selalu bisa mengatasi hambatan kelas online atau pembatasan kelas offline, sementara bagi sekolah minim fasilitas (yang jumlahnya jauh lebih banyak), guru, kepala sekolah dan orang tua memiliki kesulitan mengkondisikan ruang belajar bagi anak. Pada akhirnya pencapaian belajar pun sulit terukur.
Lain lagi soal bermain. Bagi anak yang berada di lingkungan kampung, pergaulan selama pandemi bisa jadi tidak terlalu berubah drastis. Tetapi apabila keluarga berada di lingkungan perumahan, maka ruang bermain anak bisa jadi hanya sebatas lingkungan dalam rumah. Tetapi meskipun lingkungan kampung, kondisi darurat seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) bisa jadi mengurangi masa perkembangan sosial anak secara signifikan, Anak bisa jadi terbiasa dengan kondisi ini dan baik-baik saja, sedangkan beberapa anak mulai menunjukkan perilaku anxiety (kegugupan) seketika berada di luar rumah.
Sebelum kita selami lebih lanjut, saya ingin menunjukkan satu konsep dasar yang menjadi benang merah, yaitu Efektivitas Komunikasi. Apapun yang ingin kita sampaikan pasti kita menginginkan pesan tersebut diterima dengan tepat, apa adanya, tanpa ada penambahan/ pengurangan yang bisa menimbulkan salah paham. Inilah yang lalu dijelaskan dengan SES, Status Ekonomi Sosial. SES singkatnya adalah sudut pandang orang yang kita ajak bicara alias subyektivitas lawan bicara. Kita bisa saja menggunakan bahasa istilah ilmiah kepada rekan sejawat, tetapi mungkin sulit dipahami oleh anak-anak maupun orang tua, bukan? Kita juga tidak perlu bertele-tele menjelaskan sesuatu kepada orang yang memiliki karakter lugas apalagi memiliki pengetahuan baik tentang isi pembicaraan. Sebaliknya, kita tidak bisa menggunakan bahasa lugas kepada lawan bicara bersifat sensitif, atau apalagi dengan latar belakang kegugupan.
Orang tua perlu memahami pentingnya mengolah penyampaian kepada anak karena pelan atau cepat, besar atau kecil, perkembangan mental anak di masa pandemi ini bisa terpengaruh. Hal terpenting adalah menggunakan bahasa tepat dan mudah dipahami usia anak. Berikut ini tips anjuran-anjurannya:
Ada baiknya lakukan (Dos):
- Penggunaan istilah lebih baik
Sebagian besar ahli anak menyebutkan penggunaan istilah ilmiah lebih disarankan dibandingkan dengan menggunakan istilah penghalus, baik tren sosial atau media massa. Hal ini akan membantu anak memahami pembicaraan yang tidak memiliki perbedaan dengan yang ia temukan di media manapun. Perlu diperhatikan bahwa bisa jadi anak kita memiliki pengetahuan literasi digital lebih dari perkiraan kita. Sebagaimana penjelasan pengetahuan reproduksi kepada anak yang disarankan menggunakan istilah medis, penjelasan pandemi pun ada baiknya menggunakan istilah ilmiah. Penggunaan istilah Covid-19 lebih disarankan dibandingkan Covid saja, misalkan.
- Mulai penjelasan dari titik awal pengetahuan anak
Sekali lagi, orang tua tidak disarankan menganggap anak tidak mengetahui topik berat seperti pandemi. Anak tetap bagian dari masyarakat yang mendengar informasi sebanyak orang dewasa. Ahli menyarankan penjelasan orang tua perlu diawali dengan bertanya sejauh mana anak mengetahui persoalan ini. Orang tua perlu menjawab sejauh mana anak ingin mengetahui informasi tersebut, dan orang tua harus tahu informasi keliru apa. Apabila anak tidak menginginkan penjelasan panjang, berikan penjelasan singkat, dan tunggu anak bertanya kembali. Rasanya kita tidak menginginkan menjadi orang tua TMI (Too Much Information).
- Bantu anak mengelola ritme baru
Bagi anak dengan usia 9 tahun ke atas penyesuaian terhadap ritme baru bisa jadi lebih mudah dibandingkan dengan anak usia di bawahnya. Setidaknya anak-anak usia 9 tahun ke atas memiliki kenalan teman sekelas dan sekampung, dibandingkan dengan anak usia lebih muda tanpa pengalaman sekolah offline. Orang tua perlu membantu anak merencanakan ritme hidupnya untuk selalu bersiap dengan kehidupan pasca New Normal. Anak perlu dibantu untuk bangun pagi, mempersiapkan diri untuk sekolah online, mengerjakan tugasnya dan seterusnya hingga tidur lagi. Keluhan sebagian besar orang tua adalah anaknya memiliki jam tidur malam, lebih menggunakan digital untuk entertainment, sehingga sekolah menjadi ketertarikan terakhir bagi anak. Ini kesulitan banyak orang tua, jangan khawatir, tetapi bukan berarti bisa diabaikan. Pertemanan teman sebaya sangat penting. Sebagai ganti sekolah online anak bisa diajak berbagai pengalaman sederhana, misalkan hari ini belajar dengan teman A, besok B, lain kali ganti suasana di tempat terbuka, lain hari di lokasi berbeda. Sebagaimana orang dewasa, anak juga sangat membenci rutinitas. Jadi selain sibuk WFH (Work From Home) ada baiknya sesekali mengajak anak keluar dari rutinitas. Saran ini akan baik untuk perkembangan sosial anak dan dia pun akan bertanggung jawab terhadap rutinitas belajar di sekolahnya.
- Akhiri dengan pernyataan perlindungan di setiap penjelasan
Pada dasarnya anak memiliki kekhawatiran yang sama dengan orang dewasa. Oleh karenanya para ahli menyarankan di setiap pembicaraan mengenai pandemi ada baiknya orang tua memastikan kepada anak bahwa mereka mendapatkan perlindungan cukup dari keluarga. Penting bagi anak untuk memastikan dirinya aman dan nyaman di masa sulit.
Ada baiknya tidak dilakukan (Don’ts):
- Menunda penjelasan
Dalam banyak hal ada kalanya orang tua merasa enggan atau kesulitan menjelaskan persoalan rumit kepada anak. Sebagaimana pendidikan seksual, pandemi pun seringkali dianggap sebagai hal rumit bagi anak. Anak berhak tahu kondisi terbaru, meskipun perlu mengubah sesuai dengan bahasa mereka. Orang tua menjadi tempat pertama bagi anak untuk bertanya hal-hal yang ingin mereka ketahui sehingga apabila orang tua tidak menjawab, anak akan beralih ke tempat lain, yang bisa jadi berpotensi memberikan jawaban random atau keliru. Ini tentu tidak kita inginkan. Orang tua boleh menunda penjelasan dengan waktu yang disepakati, misalkan “Oh iya? Boleh gak Ayah/ Ibu jawab nanti pas makan siang.” Janji tentu harus ditepati sehingga anak merasa yakin orang tuanya memperhatikan keingintahuannya dan menghargai kebutuhan itu.
- Menutupi fakta
Sekali lagi, anak bisa jadi memiliki literasi memadai, tidak seperti anggapan orang tua. Jadi sampaikan saja data dan fakta apa adanya, kemudian bekali anak di mana bisa mendapatkan informasi akurat dan bagaimana menyikapinya. Ada baiknya orang tua tidak memberikan contoh negatif, seperti, “LIhat itu orang tua si A..,” atau nada mengancam seperti, “Kalau kamu seperti B nanti…”. Pembicaraan kepada anak perlu menggunakan intonasi ringan dengan penggunaan kalimat aktif me-, dibandingkan kalimat pasif di-. Ini akan mempernudah anak memahami maksud orang tua dengan singkat dan jelas.
- Menggunakan analogi imajinatif
Seringkali orang tua merasa bahasa ilmiah terlalu rumit bagi anak dan memutuskan untuk mengganti dengan bahasa awam. Ini kekeliruan yang perlu diperbaiki. Penggunaan istilah ilmiah jauh lebih berguna bagi anak sehingga dia mendapatkan deskripsi tepat tentang pembicaraan. Orang tua tidak perlu menggunakan bahasa imajinatif untuk mewakili istilah ilmiah. Penggunaan istilah ilmiah adalah bahasa paling tepat, meskipun pada penjelasannya menggunakan analogi sederhana. Apabila orang tua perlu memastikan anak memahami pembicaraan, bisa dilakukan dengan pertanyaan, misalkan: “Kamu bayangkan kalau kamu ketemu A dan dia sedang pilek, terus dia makan tidak cuci tangan, menurutmu apa itu bagus?”. Ini akan membantu anak memahami dengan baik, tanpa orang tua repot-repot mencari bahasa pengganti dari istilah ilmiah. Penggunaan bahasa ilmiah akan membantu anak mengaitkan penjelasan orang tua kepada informasi yang ia peroleh (atau akan peroleh) di luar rumah.
- Menghentikan pendapat anak
Anak pasti memiliki pendapat dari sudut pandangnya dengan setiap informasi yang ia dapat dari luar. Setiap mengawali pembicaraan orang tua perlu mencari tahu sejauh mana anak berpikir mengenai isi pembicaraan tersebut. Pengabaian pendapat anak hanya membatasi kemampuan anak berpikir kritis dan tidak menghormati subyektivitas dirinya sendiri. Dua hal ini pasti hal terakhir yang diinginkan orang tua, bukan? Apabila anak memiliki sudut pandang keliru, maka orang tua bisa mengarahkan dengan menanyakan kembali logika pendapat tersebut. Ada kalanya anak memiliki sudut pandang imajinatif, yang sebenarnya adalah cara mereka menyesuaikan terhadap situasi sulit. Di titik ini orang tua boleh membiarkan anak menata imajinasinya dengan turut memastikan mereka dalam perlindungan orang tua.
Tips tadi ada kalanya bisa dilakukan ada kalanya rumit dilakukan dan butuh waktu. Apapun itu para orang tua perlu mengingat bahwa anak memiliki naluri paling erat dengan orang tua. Jadi apa yang orang tua rasakan anak pun turut merasakan. Orang tua yang mampu melewati masa sulit dengan santai, anak pun akan demikian. Apabila orang tua mudah panik dengan situasi baru, anak pun akan mudah panik. Oleh karena itu mari kita jaga kesehatan fisik dan mental kita sehingga bisa melewati masa sulit ini bersama keluarga tercinta.
Ingat, pandemi pasti segera berlalu.
Ucik Ana Fardila, S.Si., M.Ikom – Dosen Ilmu Komunikasi UIN Tulungagung, Direktur Organisasi Turi Children and Teens Research Community
Referensi
https://kidshealth.org/en/parents/coronavirus-how-talk-child.html
https://www.unicef.org/coronavirus/how-talk-about-covid-19-vaccines
https://www.jhsph.edu/covid-19/articles/how-can-i-talk-to-my-friends-and-family-about-getting-vaccinated-for-covid19.html
Ontario Hospital Association (OHA). (Oktober, 2020). Effective Communication Strategies for COVID-19. OHA. Toronto, Ontario.