Sudah hampir dua tahun pandemi Covid-19 menghiasi perjalanan hidup bangsa Indonesia, kita pun dipaksa untuk menghadapi situasi dan kondisi yang belum pernah teralami sebelumnya. Kondisi new-normal atau kebiasaan baru agar bisa bertahan dimasa pandemi, mau tidak mau telah merubah tatanan kehidupan bermasyarakat. Jika dahulu masyarakat terbiasa berkumpul dan tertawa lepas, sekarang dipaksa untuk membatasi bahkan menghindari kebiasaan tersebut. Pun demikian dengan penyelenggaraan pemerintahan, adanya ketakutan tertular dan demi mengurangi tingkat penularan, budaya baru Work From Home (WFH) diaplikasikan di berbagai instansi pemerintahan. Demikian pula pelayanan publik secara tatap muka dibatasi, atau dialihkan secara daring.
Kebiasaan new normal dipelayanan publik mau tidak mau merubah kebiasaan ASN dalam menjalankan birokrasi. Yang paling dirasakan adalah pemanfaatan teknologi digital dalam pelaksanaan tugas. Kita tentu pernah mendengar aturan terkait sistem pemerintahan berbasis elektronik, yang implementasinya cukup lambat mengingat sudah dicanangkan semenjak 2003. Namun dengan adanya pandemi ini, ASN dipaksa untuk menggunakan teknologi informasi, seperti penggunaan media sosial untuk berkomunikasi, video conference dalam pelaksanaan rapat, maupun transformasi digital yang lebih jauh semisal e-office. Pandemi ini secara langsung telah meningkatkan e-literasi di kalangan ASN.
Manfaat lain yang didapat adalah efisiensi dalam pelaksanaan kerja. Jika sebelumnya pelaksanaan rapat-rapat harus secara tatap muka, yang seringkali memakan waktu yang cukup lama dalam perjalanan, maka saat ini rapat bisa dilakukan lebih awal dan tepat waktu. Pelaksanaan pertemuan secara daring juga telah secara signifikan memangkas anggaran biaya rapat terutama untuk belanja konsumsi dan perjalanan dinas. Frekuensi rapat juga bisa ditingkatkan, dari awalnya 1-2 kali rapat, sekarang bisa berkali lipat dari angka tersebut.
Budaya WFH dalam pandemi juga telah mendorong praktek work life balance dimana ASN yang bekerja dari rumah mempunyai lebih banyak waktu berinteraksi dengan keluarga. Selain itu waktu perjalanan ke kantor yang untuk daerah tertentu bisa berjam-jam, sekarang bisa dimanfaatkan untuk bercengkrama dengan keluarga atau melakukan aktivitas sosial di lingkungan kemasyarakatan. Hal-hal tersebut telah meningkatkan kohesi sosial di masyarakat, sehingga ASN tidak lagi dipandang profesi yang eklusif namun bisa membaur di masyarakat umum.
Pelaksanaan WFH juga telah mendorong migrasi pelayanan publik dari berbasis kantor ke internet. Berbagai pelayanan publik bisa dijalankan secara lebih cepat, transparan dan akuntabel dengan pemanfaatan teknologi informasi. Berbagai inovasi telah dikembangkan di berbagai unit pemerintahan, dari mulai sekedar absensi daring, perizinan daring, sampai ke layanan berbasis keuangan seperti pajak daerah maupun penyaluran bantuan sosial. Masyarakat bisa merasakan perubahan ini, terutama dalam pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat seperti kependudukan maupun kesehatan. Jika dulu sulit memantau sejauh mana keperluan masyarakat dilayani, dengan digitalisasi masyarakat bisa melihat alur pelayanan terhadap mereka yang memungkinkan mereka mengawasi kinerja birokrasi.
Manfaat lain yang dirasakan adalah peningkatan produktifitas ASN. Dimulai dari keberadaan absensi daring yang bisa men-tracking posisi ASN secara real-time, sampai ke proses pemantauan kinerja dan alur dokumen/disposisi di e-office. Dengan digitalisasi, sulit bagi ASN untuk menghindari kewajiban dalam pelayanan dengan alasan-alasan klasik seperti tidak ada ditempat, dokumen belum ditemukan atau pimpinan belum bisa tandatangan karena sedang dinas luar. Semua tercatat di sistem, sehingga bisa terlihat bagian mana di birokrasi yang menghambat pelayanan. Keberadaan aplikasi-aplikasi ini mendorong peningkatan kinerja ASN, yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas birokrasi dan pelayanan publik.
Namun manfaat-manfaat dari perbaikan birokrasi ini belum bisa dirasakan di semua lini birokrasi. Masih banyak hambatan-hambatan yang dialami oleh ASN terutama di daerah-daerah 3T dimana infrastruktur sangat terbatas. Pelaksanaan pelayanan publik berbasis daring membutuhkan kehadiran teknologi informasi, namun belum semua daerah di Indonesia mendapatkan layanan yang sama. Masih banyak daerah yang belum bisa mengakses internet karena tidak adanya sinyal seluler atau jaringan fiber optik. Selain itu ada beberapa daerah yang belum terjangkau listrik, sehingga budaya daring menjadi sesuatu yang mustahil karena baik telepon, internet maupun komputer semua butuh listrik.
Hambatan lain adalah kepemilikan perangkat akses internet yang terbatas. Tidak semua ASN mempunyai kemampuan memiliki gawai yang memadai untuk video conference misalnya, atau pun ketiadaan kuota internet/kebutuhan kuota yang sangat besar. Di sisi lain masyarakat penerima layanan publik pun tidak semua mempunyai alat akses daring maupun kemampuan membeli kuota internet. Tentu kita sering mendengar ketika pembelajaran tatap muka digantikan daring, banyak keluarga mengeluh karena harus menyediakan gawai dan kuota, dimana pada kondisi normal jangankan untuk mengakses layanan daring, untuk bertahan hidup saja kadang seadanya.
Kepemilikan gawai dan akses kuota juga tidak serta merta menjamin ASN dan masyarakat mampu menjalankan dan memanfaatkan layanan publik. Masih banyak ASN maupun masyarakat yang gagap teknologi akibat rendahnya literasi berinternet. Hambatan di sisi SDM juga datang dari lemahnya e-leadership terutama di daerah. Masih banyak pimpinan daerah yang tidak mengerti fungsi teknologi informasi, sehingga cenderung bukan prioritas dalam sistem penganggaran, hal ini tentu membatasi kemampuan suatu unit pemerintah dalam melaksanakan pelayanan secara daring.
Lemahnya e-leadership juga membuat visi terkait pemanfaatan teknologi informasi menjadi parsial dan cenderung reaktif. Ketika awal-awal terjadi pandemi, banyak unit pemerintah berinvestasi jor-joran dalam perangkat/sistem TI untuk mendukung transformasi layanan publik ke daring maupun menunjang WFH, namun dalam perjalanannya terjadi seleksi alam atas perangkat tersebut, dan pada akhirnya beberapa tidak termanfaatkan. Ketidakmanfaatan ini terjadi bukan hanya karena tidak ada perencanaan yang matang, namun juga proses adaptasi pemanfaatan oleh ASN yang tidak optimal.
Hal terakhir yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya abuse pemanfaatan teknologi. Dengan keberadaan budaya WFH banyak ASN yang harus bekerja di luar jam kerja yang normal. Tidak jarang ASN harus bekerja sampai malam karena dengan kemudahan akses komunikasi, fleksibilitas waktu dan tempat, pimpinan sering melupakan batasan jam kerja. Selain itu sering terjadi ASN harus menghadiri beberapa rapat secara bersamaan, mungkin secara teknologi dimungkinkan memakai 1, 2, 3 gawai, namun kemampuan manusia dalam mencerna informasi sangatlah terbatas, sehingga sering karena fokus yang terbagi maka informasi yang diterima menjadi terbatas. Hal ini secara langsung berpengaruh terhadap kualitas keputusan yang diambil, dan pada akhirnya bepengaruh megatif kepada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Perlu dipertimbangkan pula kondisi kesehatan ASN yang menjalankan WFH, karena berdasarkan beberapa riset terkemuka abuse teknologi dan overwork menurunkan kesehatan mental mendorong percobaan bunuh diri.
Hambatan-hambatan diatas tentunya perlu dicarikan pemecahannya, mengingat proyeksi berbagai badan dunia bahwa pandemi Covid-19 ini kemungkinan bertahan beberapa tahun ke depan. Ketersediaan infrastruktur menjadi hal kritikal dalam proses transformasi digital pelayanan publik, oleh karena itu keberpihakan pemerintah dalam anggaran perlu ditingkatkan. Jika pemerintah pusat sudah menggelindingkan kebijakan Kewajiban Pelayanan Universal/ Universal Service Obligation (KPU/USO) yang menyediakan backbone internet, satelit, maupun biaya akses internet, maka pemerintah daerah berkewajiban menyediakan infrastruktur last mile seperti Local Area Network (LAN), PC, WIFI maupun gawai untuk akses layanan termasuk di sekolah-sekolah dan pusat layanan publik lainnya. Pemerintah daerah juga punya kewajiban menyediakan sarana pendukung infrastruktur, seperti listrik maupun tanah bagi penempatan infrastruktur teknologi informasi yang diberikan pemerintah pusat melalui KPU/USO.
Selain infrastruktur, ASN yang di WFH kan perlu difasilitasi baik perangkat akses (PC/gawai) termasuk biaya kuota internet, maupun kesehatan fisik (karena mobilitas yang terbatas) dan psikis (potensi abuse teknologi dan overwork). Keberadaan e-leadership juga sangat penting dalam mewujudkan tata kelola pengembangan dan pemanfaatan TI yang baik. E-leadership yang cukup bukan hanya bermanfaat dalam keberpihakan anggaran tapi juga dalam proses pembuatan rencana transformasi TI yang komprehensif. Selain itu pimpinan yang mempunyai visi terkait TI, akan mendorong peningkatan literasi digital baik untuk ASN maupun masyarakat. Sangat dimungkinkan didorong peningkatan kemampuan digital masyarakat dan ASN melalui pelatihan-pelatihan maupun insentif pemanfaatan IT. Potensi abuse teknologi dan overwork juga bisa dimitigasi dengan membuat aturan yang ketat terkait jam kerja, WFH maupun flexible working, sehingga disatu sisi pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan bahkan meningkat, disisi lain kesehatan dan kenyamanan ASN dalam ber WFH juga terjaga.
Sebagai penutup, proyeksi pandemi Covid-19 yang tidak akan berakhir dalam waktu dekat tidaklah perlu menjadi ketakutan, namun mejadi motivasi untuk waspada dan terus meningkatkan kemampuan diri. Keberadaan WFH beserta manfaat dan tantangan nya, jika dikelola dengan baik, bisa meningkatkan kemampuan ASN dalam melaksanakan pelayanan publik serta beradaptasi di masa new normal.
Yudi Adhi Purnama
Analis Kebijakan Publik
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian